News Photo

Dualisme Kepatuhan

by Annas Baihaqi (PRiADI Certified Counselor)

  • Blogs
  • Updated February 19, 2024

“Bicara soal kepatuhan ibarat bicara dua mata uang yang berbeda. Ada dua perspektif yang muncul jika kita dianggap memiliki nilai kepatuhan yang kuat, begitu pula kebalikannya bila kita cenderung membantah pada atasan.”

Seberapa patuh kita sebagai seorang karyawan memang menentukan bagaimana penilaian atasan mengenai loyalitas yang kita miliki. Di sisi lain tingkat kepatuhan juga menentukan apakah kita memiliki keberanian untuk membantah atau menyampaikan pendapat meskipun berseberangan dengan perspektif atasan.

Misalkan, seorang Top Leader dengan kultur organisasi yang tertib dan menerapkan struktur hierarki yang jelas mungkin akan membutuhkan karyawan dengan loyalitas yang tinggi sekaligus berkomitmen mematuhi aturan yang sudah disepakati. Bisa Anda bayangkan, jika perusahaan dengan struktur dan aturan yang jelas ini banyak diinterupsi, bukan tidak mungkin akan mengganggu kestabilan organisasi atau action plan yang diharapkan berjalan sesuai rencana.

Hal di atas sejalan dengan studi Geert Hofstede (2001) bahwa nilai-nilai dan budaya yang dibentuk oleh organisasi juga ikut mempengaruhi tingkat kepatuhan seorang karyawan. Karyawan umumnya akan berupaya patuh bila berada dalam organisasi yang menekankan hierarki dan menerapkan model komunikasi yang top-down.

Akan tetapi seperti judul di atas, kepatuhan tentu ibarat dua mata uang yang berbeda. Karyawan yang patuh tentu membantu atasan atau perusahaan untuk bergerak menuju target yang sudah ditetapkan tanpa banyak disrupsi (gangguan). Namun kepatuhan yang kuat juga bisa mengindikasikan ketidakberanian karyawan untuk menyampaikan pendapatnya bila berseberangan dengan atasan.

Disamping itu secara psikologis ada penjelasan yang lebih dalam bila kita bicara mengenai perilaku patuh, pengalaman dan studi yang dilakukan PRiADI selama bertahun-tahun akan mencoba mengelaborasinya lebih lanjut melalui tulisan ini.

Bagaimana tes PRiADI memandang “Kepatuhan kepada Otoritas” ini dari sudut pandang kepribadian (personality traits) yang sudah mereka bawa sejak lahir ?

Contoh tes PRiADI di atas menunjukkan seseorang yang memiliki tingkat kepatuhan (Need to support authority) yang tinggi. Hasil diatas mengindikasikan yang bersangkutan sangat patuh pada otoritas serta enggan membantah karena sangat memahami posisi wewenangnya dalam organisasi. Situasi untuk bermain aman ini yang menunjukkan kompromi karyawan untuk tetap mengikuti instruksi atasan meskipun secara batin boleh jadi mengalami pergolakan atau pendapat yang berseberangan.

Namun ketika warnanya purple seperti di atas, bukan tidak mungkin menyebabkan ia jadi terlalu sungkan atau enggan menyampaikan pendapat yang berbeda dengan atasan. Ini boleh jadi menghambat kemajuan organisasi untuk memiliki perspektif diluar cara berpikir atasan.

Tidak sedikit klien kami dengan nilai kepatuhan seperti di atas sebenarnya memiliki kemampuan kognisi dan kreativitas berpikir yang juga tidak kalah unggul. Sehingga bisa dikatakan ia punya kapasitas untuk memberikan solusi yang boleh dibilang efisien, tepat sasaran dan bermanfaat untuk organisasi. Namun ketidakberaniannya untuk menyanggah atau memberikan pendapat ini boleh jadi menghambat kesempatan organisasi dalam  menampung berbagai aspirasi yang positif bagi perusahaan.

Ada rasa takut atau khawatir untuk memberikan sanggahan karena boleh jadi ia memikirkan dampak status dan posisinya bila dinilai berseberangan. Ia memikirkan kestabilan dirinya di masa depan apabila ia mencoba melawan arus dari apa yang otoritas putuskan. Terlebih bila dari tes nya juga menunjukkan deciison making yang sangat hati-hati dan enggan berkonflik maka akan membuatnya semakin enggan menciptakan perdebatan.


Sementara hasil tes di atas menunjukkan prediksi seseorang dengan tingkat kepatuhan (Need to support authority) yang rendah. Ini mengindikasikan yang bersangkutan cenderung mudah membantah atau menyela instruksi atasan. Ia dinilai mudah mendemonstrasikan ketidaksetujuannya kepada atasan. Kecenderungan ini tentu memiliki dua mata uang atau perspektif. Betul, ia dinilai sebagai pribadi yang mudah sekali membantah namun sekaligus punya keberanian untuk mengutarakan pendapatnya meski berseberangan dengan atasan.

Seperti yang sudah diungkap sebelumnya bahwa orang yang membantah biasanya memiliki potensi mengganggu kestabilan organisasi yang tertib dan terstruktur. Terlebih saat dibawah kendali pimpinan yang top-down. Ini akan menjadi sumber konflik bagi internal organisasi. Boleh jadi atasan akan menilainya sebagai orang yang tidak mudah diatur dan berpotensi rentan konflik. Apalagi jika atasan memiliki karakteristik dominance (tegas sekaligus pengendali) yang memastikan segala sesuatunya harus berjalan sesuai arahan atau ekspektasinya.

Lantas yang jadi pertanyaan, apakah kecenderungan membantah ini tidak bisa diantisipasi ?

PRiADI memiliki pandangan bahwa seseorang berusaha berubah dari kebiasaan alaminya karena ada yang disebut mekanisme pembelajaran, pengalaman dan sebuah kepentingan yang perlu diprioritaskan. Seseorang yang mudah membantah punya kesempatan untuk mengantisipasi kecenderungan tersebut demi menjaga sebuah kepentingan atau urusan dengan atasan. Walaupun ini membutuhkan sebuah proses yang tidak mudah karena melawan habit (kebiasaan) alaminya.

Boleh jadi dalam dirinya muncul pergolakan batin yang kuat untuk mengutarakan apa yang menurutnya harus ia utarakan. Akan tetapi demi menjaga sebuah kepentingan ia berusaha menahan keinginannya untuk berdebat. Meskipun cepat atau lambat sesuatu yang tidak tersalurkan dalam waktu berkepanjangan berpotensi menjadi “bencana” atau ledakan psikologis di kemudian hari. Pemikiran sekaligus emosinya boleh jadi meledak, terekspresikan di waktu dan tempat yang tidak diduga.

Berbeda bila ia berada dalam organisasi yang memiliki kultur lebih fleksibel dan dibawah kepemimpinan yang moderat atau toleran. Umumnya keterbukaan akan pendapat yang berbeda, ide kreatif dan inovatif bisa terakomodasi selama kedua pihak mampu menemukan titik kompromi satu sama lain.

Hal diatas sejalan dengan studi Charlan Nemeth dan Jack Goncalo terhadap sejumlah pekerja di Amerika Serikat dan Prancis (2015) bahwa karyawan yang umumnya cenderung membantah (arguing) dan suka mempertanyakan otoritas memiliki kemungkinan merupakan pribadi yang cenderung fleksibel dan kreatif dalam lingkungan kerjanya. Mereka melihat bahwa konflik dan diskusi yang dihasilkan dalam perdebatan bisa menghasilkan gagasan yang cenderung inovatif dan solusi yang bersifat divergen.

Sekali lagi apapun kecenderungan seseorang terkait kepatuhan ini memang sangat relatif dampaknya. Pada level apapun tentu memiliki kelebihan, kekurangan dan konsekuensi masing-masing. Bisa tergantung pada budaya organisasi tempat kita berada, karakteristik atasan seperti apa yang kita hadapi, posisi serta kewenangan apa yang kita miliki dan sejumlah faktor lain yang ikut memberikan dinamika respon pada kecenderungan alami yang sudah kita bawa sejak lahir.

Akhir kata, sebuah pepatah mengatakan dimanapun kaki kita bertumpu, orang yang bijak akan terus belajar membawa diri.

Share This News

Comment

Need help?