News Photo

Pengambil Risiko Vs. Penghindar Risiko: Kamu Tergolong yang Mana ?

by Annas Baihaqi (PRiADI Certified Counselor)

  • Blogs
  • Updated March 05, 2024
Sebuah penelitian menunjukkan bila seseorang cenderung impulsif (bertindak tanpa berpikir panjang) maka kemungkinan 30-45% juga terdorong kompulsif saat berbelanja yakni kecenderungan belanja yang tidak terkendali tanpa rencana keuangan yang matang (Rose, P., Segrist, D.J., et al,  2018 & Trotzke, P., et al, 2015).

Katakan saat seseorang yakin memiliki uang yang cukup kemudian melihat barang menarik di online shop, tentu ada yang cepat memutuskan untuk check out (membeli). Namun ada yang lama memutuskan karena banyak pertimbangan. Misal, seberapa urgent saya membutuhkannya, review nya bagus atau tidak, dan sederet pertimbangan lain. Mengapa hal ini bisa terjadi ?

Percaya atau tidak, hal itu dipengaruhi oleh bagaimana otak kita bekerja. Apakah otak kita cepat menanggapi suatu hal yang menurut kita menarik. Bahkan tidak hanya itu, tapi juga berkaitan dengan kepribadian kita secara genetik apakah cenderung impulsif atau tidak.

Terkait kinerja otak, hasil studi yang ditemukan JW Dalley dkk (2019) menunjukkan bahwa kadar serotonin yang rendah pada prefrontal korteks seseorang menyebabkan perilaku impulsif saat memutuskan. Orang menjadi cepat tanggap saat melihat sesuatu karena didorong oleh suasana hatinya. Hal ini dikendalikan oleh kadar serotonin di bagian otak tersebut.

Sebaliknya peningkatan kadar serotonin pada prefrontal korteks seseorang membuat adanya peningkatan kemampuan dalam merencanakan, mempertimbangkan konsekuensi, dan mengendalikan impuls. Sebagai hasilnya, seseorang mungkin akan membuat keputusan yang lebih terkendali, berupaya rasional, dan berorientasi pada tujuan.

Kalau studi diatas menunjukkan kondisi hormon dapat mempengaruhi kecepatan kita dalam mengambil keputusan, lalu bagaimana dengan faktor genetik?

Hasil studi yang ditemukan Avshalom Caspi dkk (2010) menunjukkan bahwa terdapat gen tertentu (5-HTT) yang memiliki fungsi sebagai transporter hormon serotonin pada otak. Sifat gen ini memiliki pengaruh yang bervariasi pada sistem serotonin sehingga mampu mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku seseorang, salah satunya mempengaruhi kecenderungan impulsif dalam pengambilan keputusan. Bisa dibayangkan bagaimana jika studi genetika ini kedepannya dapat melakukan screening lebih awal untuk mengetahui perbedaan kualitas gen 5-HTT setiap individu. Mungkin dapat dilakukan pengelompokkan lebih dini, mana individu yang memiliki potensi perilaku beresiko dalam pengambilan keputusan dan mana yang sebaliknya. Tidak hanya itu namun juga dapat dilakukan upaya penanganan atau antisipasi perilaku lebih dini.

Lantas apa yang tes PRiADI temukan mengenai aspek pengambilan keputusan ini ?

Agar mudah dipahami kecepatan seseorang dalam memutuskan umumnya dibagi menjadi dua spektrum yang berbeda. Ada yang cenderung cepat atau mudah mengambil resiko (Risk Seeking) dan ada yang cenderung lambat atau menghindari resiko (Risk Avoidance). Hal itu dapat dilihat melalui tes PRiADI sebagai berikut :


Risk Seeking


Ketika hasil tes klien kami menunjukkan kecepatan membuat keputusan (Ease in decision making) yang tinggi seperti diatas maka yang bersangkutan diprediksi cenderung cepat bahkan spontan dalam memutuskan. Hal ini umumnya berkaitan dengan impresi (kesan) dan perasaan yang muncul dari apa yang tampak olehnya. Boleh jadi ia gampang jatuh cinta pada sesuatu yang membangkitkan antusiasme atau perasaan bahagia. Ia mudah larut terbawa emosi, cepat menilai sesuatu atas dasar perasaan yang muncul di benaknya.

Misalkan, emosi dan kesan menarik ketika melihat suatu produk cepat mendorong ia untuk membeli tanpa perlu pertimbangan lebih dalam. Akan tetapi keputusan tanpa perencanaan yang matang ini seringkali membuat ia seakan terburu-buru dalam memutuskan. Sehingga ia kurang memikirkan resiko lebih lanjut.

Anda bayangkan ketika seorang recruiter dengan data seperti diatas cenderung spontan dalam meng-hire seseorang hanya karena apa yang tampak dipermukaan. Ia mudah tertarik dari apa yang dilihat. Entah dari penampilan kandidat, sikap yang ditunjukkan oleh kandidat ketika bertemu, dll. Di kemudian hari, ia frustasi dan berpikir ulang bahwa ternyata yang ia hire tidak bisa memenuhi ekspektasi atau tanggung jawab yang diberikan perusahaan. Performa kerja nya tidak sesuai harapan.

Atau di kasus lain, spontanitas dalam memutuskan bisa terjadi dikala seseorang dalam keadaan kalut, marah atau emosional terhadap pasangannya. Sehingga ia dengan mudah cepat mengambil keputusan yang tergesa-gesa dan kurang memikirkan jangka panjang tentang situasi dan komitmen hubungan. Sungguh ironis bukan ?

Akan tetapi kecepatan dalam memutuskan sebetulnya bukan hanya memiliki resiko negatif tapi juga memiliki sisi positif. Misalkan, membuat seseorang sigap dalam mengambil tindakan yang harus cepat tanggap. Tidak hanya itu, kecepatan dalam memutuskan juga membantu seseorang sigap dalam mengambil peluang atau momentum yang minim datang dua kali. Misalnya, membuat seorang sales tidak ragu untuk mendekati calon customer nya karena tahu bahwa customer potensial nya belum tentu bisa ditemui di momen berikutnya.

Contoh lain, kecepatan dalam memutuskan juga membuat seseorang pintar untuk mengambil kesempatan menang lebih banyak. Seperti mengejar diskon atau potongan harga yang boleh jadi sulit diraih di kesempatan lain.


Risk Avoidance

Adapun hasil diatas menunjukkan skala pengambilan keputusan yang lebih lambat bahkan sangat hati-hati. Ia tidak ingin banyak mengambil resiko, tidak ingin kecewa pada apa yang ia beli (putuskan), menganalisis lebih cermat demi mendapatkan produk yang sesuai dengan ekspektasinya. Pada beberapa kasus orang yang lambat kadang membuatnya sulit memutuskan. Hal ini karena dipengaruhi oleh begitu banyak pertimbangan, rasa khawatir, takut salah atau takut akan penyesalan.

Kehati-hatian dalam memutuskan sebetulnya dapat membantu seseorang memiliki manajemen resiko yang baik. Misalnya kehati-hatian dalam perencanaan keuangan (financial planning), membantu ia mempunyai sikap mitigasi akan sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan dan meminimalisir resiko-resiko yang mungkin muncul.

Akan tetapi seperti yang sudah dijelaskan diatas, kehati-hatian yang terlalu dalam (pada skala warna kuning atau merah dalam tes PRiADI) sebetulnya merupakan indikasi dari sebuah gejala psikologis yang mengarah pada kecemasan berlebih, sikap perfeksionisme yang dalam tentang sesuatu yang kita anggap penting. Kita dinilai ribet, over-detailed dan kurang toleran pada sebuah kesalahan kecil. Sehingga permasalahan yang sebenarnya boleh jadi remeh selalu kita anggap penting.

Perilaku ini bisa jadi mengganggu keseharian kita untuk beradaptasi dengan orang lain, kita sering dinilai plin-plan atau ragu. Sebab bagi orang lain untuk memutuskan sesuatu yang remeh boleh jadi tidak perlu sedetail perhatian kita. Bukan hanya itu, lambatnya kita dalam mengambil keputusan juga berpotensi akan kehilangan momentum (kesempatan).

Namun pada akhirnya, di level manapun kecepatan kita dalam mengambil keputusan akan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebuah profesi apapun tentu memiliki kriteria pengambilan keputusan yang berbeda. Semisal seorang financial planner, accountant, financial auditor dan staf quality control umumnya membutuhkan pengambilan keputusan yang lebih hati-hati karena berorientasi pada kualitas pekerjaan yang detail. Sementara sales, marketing dan sejenisnya membutuhkan pengambilan keputusan yang tentu lebih cepat.

Akhir kata, apapun hasil yang kita miliki terkait pengambilan keputusan ini PRiADI selalu mendorong setiap individu untuk menjadi versi terbaiknya masing-masing.

Share This News

Comment

Need help?